Sabtu, 27 November 2010

Pemahaman yang Salah Tentang Kasta di Bali

Sampai saat ini umat Hindu di Indonesia khususnya di Bali masih mengalami polemik masalah Kasta. Hal ini menyebabkan ketidaksetaraan status sosial diantara masyarakat Hindu. Masalah ini muncul karena pengetahuan dan pemahaman yang dangkal tentang ajaran Agama Hindu dan Kitab Suci Weda yang merupakan pedoman yang  paling ampuh bagi umat Hindu agar  menjadi manusia yang beradab yaitu memiliki kemampuan bergerak (bayu), bersuara (sabda) dan berpikir (idep) dan berbudaya yaitu menghormati sesama ciptaan Tuhan Yang Maha Esa tanpa membedakan asal usul keturunan, status sosial, dan ekonomi.
Pada masyarakat Hindu di  Bali,terjadi  kesalahan dan kekaburan dalam pemahaman dan pemaknaan warna, kasta, dan wangsa yang berkepanjangan. Dalam agama Hindu tidak dikenal istilah Kasta. Istilah yang termuat dalam kitab suci Veda adalah Warna. Apabila kita mengacu pada Kitab Bhagavadgita, maka yang dimaksud dengan Warna adalah Catur Warna, yakni pembagian masyarakat menurut Swadharma (profesi) masing-masing orang. Sementara itu, yang muncul dalam kehidupan masyarakat Bali adalah Wangsa, yaitu sistem kekeluargaan yang diatur menurut garis keturunan. Wangsa tidak menunjukkan stratifikasi sosial yang sifatnya vertikal (dalam arti ada satu Wangsa yang lebih tinggi dari Wangsa yang lain). Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada warga masyarakat yang memiliki pandangan bahwa ada suatu Wangsa yang dianggap lebih tinggi daripada Wangsa yang lain. Untuk merubah pandangan seperti ini memang perlu sosialisasi dan penyamaan persepsi. Oleh karena itu, lebih baik tidak diperdebatkan lagi.
Wiana (2000) menjelaskan perbedaan antara warna dan kasta. Warna merupakan penggolongan masyarakat berdasarkan fungsi dan profesi. Dalam ajaran Agama Hindu dikenal adanya empat warna/Catur Warna yaitu brahmana-orang-orang yang bertugas untuk memberikan pembinaan mental dan rohani serta spiritual, ksatria-orang orang yang bertugas untuk mengatur negara dan pemerintahan serta rakyatnya, waisya-orang yang bertugas untuk mengatur perekonomian, dan sudra-orang yang bertugas untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan menjadi pelayan atau pembantu orang lain.
Warna dan gelar serta namanya sama sekali tidak diturunkan atau diwariskan ke generasi berikutnya. Warna tidak bersifat statis, tetapi dinamis. Artinya, warna bisa berubah setiap saat sesuai dengan fungsi dan profesinya, sebagai contoh; seorang yang berasal dari golongan sudra karena ketekunannya dalam belajar dan bekerja berhasil menjadi seorang polisi atau tentara maka secara otomatis golongannya meningkat menjadi seorang ksatria yang bertugas untuk membela dan mempertahankan kedaulatan negara. Bisa saja seorang brahmana yang melakukan tindak kejahatan seperti; pencurian, pemerkosaan, perjinahan dan tinakan melawan hukum lainnya turun derajatnya menjadi golongan yang lebih dan bahkan paling rendah karena perbuatannya sehingga harus menjalani hukuman penjara dan setelah selesai menjalani hukuman akan kembali bergabung dengan masyarakat dan tidak tahu lagi akan menjadi bergelut dalam bidang apa.
Hubungan di antara golongan pada warna hanya dibatasi oleh “dharma”-kewajiban yang berbeda-beda tetapi menuju satu tujuan yakni kesempurnaan hidup. Jadi, catur warna sama sekali tidak membeda-bedakan harkat dan martabat manusia dan memberikan manusia untuk mencari jalan hidup dan bekerja sesuai dengan sifat, bakat, dan pembawaannya sejak lahir hingga akhir hayatnya.
Sedangkan kasta merupakan penggolongan status sosial masyarakat dengan mengadopsi konsep catur warna (brahmana, ksatria, wesyia, dan sudra) yang gelar dan atribut namanya diturunkan dan diwariskan ke generasi berikutnya. Artinya, walaupun keturunannya tidak lagi berprofesi sebagai pendeta atau pedanda tetapi masih menggunakan gelar dan nama yang dimiliki leluhurnya yang dulunya menjadi pendeta atau pedanda. Ini sangat tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seseorang yang belum tentu atau tidak memiliki sifat-sifat brahmana harus disebut sebagai brahmana, dan juga terjadi pada kasta yang lainnya.
Terlebih lagi nama dan gelar warisan masing-masing leluhurnya sekarang ini semakin diagung-agungkan dan digunakan untuk mempertajam kesenjangan di antara golongan kasta yang ada. Tetapi, jika nama dan gelarnya yang dipakai keturunannya hanya dijadikan sebagai tanda penghormatan kepada leluhurnya, maka tindakan ini merupakan tindakan yang sangat mulia dan terhormat.
Konsep kasta sangat bertentangan dengan konsep warna dalam ajaran agama hindu. Namun, kesalahan pemahaman tentang kasta dan warna masih saja terjadi dan terus berlangsung hingga sekarang ini. Jika terjadi kesalahpahaman yang berkelanjutan maka tidak tertutup kemungkinan akan terjadi konflik,  perpecahan, dan kekacauan di masa yang akan datang.
Tidak dapat dipungkiri banyak konflik yang terjadi akibat perbedaan kasta ini, seperti Konflik antar masyarakat yang terjadi pada Bulan Maret 2007 di Desa Tusan, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung-Bali merupakan salah satu buntut dari tidak harmonisnya hubungan antara kaum brahmana dan sudra. Puluhan rumah kaum “kasta brahmana” dirusak dan dihanguskan oleh masyarakat sehingga masyarakat yang rumahnya hancur harus dievakuasi dan diamankan serta ditampung di MAPOLRES (Markas Polisi Resor) Klungkung. Perlu dipertanyakan kenapa ini terjadi? Tak bisa dibayangkan lagi bagaimana benci dan marahnya masyarakat terhadap kaum brahmana sehingga tega melakukan hal-hal yang anarkis ini.
Belum ada penjelasan dari aparat berwenang mengenai penyebab kejadian ini. Walaupun demikian, patut diacungi jempol para masyarakat di sana bisa berdamai dan hidup berdampiangan kembali serta membuat pernyataan damai di antara masyarakat yang berkonflik.
Dari penjelasan diatas jelas sudah perbedaan pandangan mengenai kasta, warna, dan wangsa. Kita sebagai umat Hindu yang memiliki intelektual sudah menjadi kewajiban memahami konsep ini agar tidak terjadi pandangan yang salah yang dapat menyebabkan kesenjangan sosial antarumat Hindu lebih-lebih bisa menyebabkan konflik yang berkepanjangan. Namun, sekarang ini nampaknya ada usaha-usaha untuk semakin mempertajam kesenjangan umat Hindu khususnya di Bali. Sebagai contoh mengenai pembagian wewenang, hak dan kewajiban pendeta. Pedanda (pendeta yang berasal dari kalangan Kasta Brahmana) memiliki wewenang yang jauh lebih tinggi dari pada pemangku (pendeta yang berasal dari Kasta Sudra). Pendanda bisa menyelesaikan kelima upacara keagamaan yang ada dalam agama hindu di Bali yang lazim disebut sebagai Panca Yadnya yaitu:
(1) Dewa yadnya-upacara keagamaan yang ditujukan kepada Tuhan dan manifestasinya seperti odalan di pura-pura baik pura sad khayangan (pura umum yang bisa dikunjungi dan disembahyangi oleh semua umat hindu tanpa membedakan asal-usul keturunan) pura dang kayangan (pura yang sempat disinggahi oleh Dang Hyang Niratha-penyebar Agama Hindu dari Jawa) maupun pura keluarga atau merajan;
(2) Rsi yadnya-upacara keagamaan yang ditujukan untuk para rsi atau upacara penyucian manusia seperti upacara dwi jadi (pengukuhan stutus dari masyarakat biasa menjadi pedanda atau pemangku);
(3) Manusia yadnya-upacara keagamaan yang ditujukan untuk manusia seperti upacara bayi tujuh bulan dalam kandungan (magedong-gedongan), upacara satu bulan tujuh hari setelah bayi lahir (tutug kambuhan), upacara tiga bulan setelah bayi lahir (nelu bulanin), enam bulan setelah lahir (otonan), upacara potong gigi, dan upacara pernikahan (mewidhi- wedhana);
(4) Pitra yadnya-upacara yang ditujukan kepada pitara atau orang yang sudah meninggal seperti upacara ngaben, ngeroras, dan nuntun;
(5) Butha yadnya-upacara yang ditujukan kepada bhuta kala yang bertujuan untuk menyeimbangkan dunia dari pengaruh positif dan negatif.
Sedangkan pendeta yang berasal dari kalangan kasta lain tidak bisa menyelesaikan kelima upacara agama tersebut di atas. Pembagian wewenang ini tanpa berlandaskan sumber yang jelas dan sering kali berasal dari justifikasi dan penapsiran orang atau kalangan tertentu saja.
Sistem pembagian tugas dan wewenang pendeta ini hanya cocok diberlakukan di Bali saja karena tidak semua umat Hindu di seluruh Indonesia maupun dunia memiliki pendeta yang berasal dari golongan kasta brahmana.
Dalam Bhagawad Gita secara jelas disebutkan bahwa dasar persembahan kepada Tuhan adalah “keiklasan” dan sama sekali tidak berdasarkan besar atau kecilnya persembahan dan siapa yang menyelesaikan upacara karena semua manusia sama di hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Apa yang dijelaskan di dalam ajaran suci Agama Hindu ini juga mempertegas bahwa tidak ada perbedaan di antara kita semua. Kita semua mahluk Tuhan dan tak perlu lagi ada pengkotak-kotakan yang berakibat pada perpecahan. Cintailah semua ciptaan Tuhan, semoga damai!
Pengaruh Deferensiasi dan Stratifikasi Sosial dalam Masyarakat


Pengaruh Deferensiasi Social dalam Masyarakat
Deferensiasi social sebagai gejalayang universal dalam kehidupan masyarakat dan membedakan masyarakat secara horizontal, tentu akan membawa dampak dan pengaruh pada kehidupan bersama. Pembedaan secara horizontal ini tetap akan membawa konsekuensi bagi kelompok-kelompok social yang ada. Ikuti penjelasan dampak derensiasi social dalam masyarakat.
Fanatisme
Pengelompokan masyarakat berdasarkan demensi horizontal inimemiliki dampak pada fanatisme kelompok yang bersangkutan,. Anggota kelompok memiliki ikatan yang kuat dengan kelompoknya dan sekaligus membedakan dirinya dengan kelompok lain. Misalnya deferensiasi berdasarkan agama, akan menmimbulkan fanatisme bagi setiap pemeluk agama yang bersangkutan dan mereka sekaligus membedakan diri dengan kelompok beragama lainya.
Batas-batas kelompoknya lebih jelas dan batas kelompok yang lain juga jelas oleh karena itu fanatisme dapat tumbuh dan berkembang sebagai dampak dari deferensiasi social.
Solidaritas
Solidaritas atau ikatan kebersamaan dapat juga terjadi akibat deferensiasi social yang ada. Solidaritas tumbuh dan berkembang diantara mereka. Deferensiasi karena suku bangsa atau etnik akan membuat ikatan mereka se etnik jauh lebih kuat dibandingkan dengan ikatan mereka diluar etnik. Lebih-lebih bila mereka berada diluar etniknya sebagai pendatang pada etnik yang berbeda, maka solidaritas diantara mereka akan tumbuh dan berkembang sehingga rasa solidaritas diantara mereka semakin tinggi.
Mereka merasa satu bagian dari bagian yang besar dan mereka selalu menyatakan bahwa dirinya adalah bagian dari mereka yang besar tersebut.
Toleransi
Pemahaman akan perbedaan yang horizontal diantara kelompok social yang digolongkan berdasarkan deferensiasi social akan menumbuhkan toleransi diantara mereka.
Mereka mengetahui perbedaan dan batas-batas social diantara mereka. Batas kelompok mereka mereka pahami; kesadaran akan kelompoknya juga mereka merasakan. Sisi lain mereka mengetahui batas-batas dari kelompok deferensiasi social lainya. Pemahaman tentang dirinya dan pemaahaman terhadap diri orang lain akan menyebabkan tumbuhnya toleransi diantara mereka. Mereka menghargai apa yang ada pada kelompok lain dan kelompok lain memahami dan menyadari perbedaan yang ada dalam kelomponya.
Kesadaran akan batas dan perbedaan antara kelompok yang berbeda ini merupakan kesadaran social yang menumbuhkan rasa mau menghargai perbedaan sebagai wujud toleransi social yang ada
Pengaruh Startifikasi Sosial dalam Masyarakat
Stratifikasi social adalah pembedaan masyarakat kedalam lapisan-lapisan social berdasatrkan demensi vertical akan memiliki pengaruh terhadap kehidupan bersama dalam masyarakat. Ikuti urain tentang dampak stratifikasi social dalam kehidupan masyarakat berikut ini.
Eklusivitas
Stratifikasi social yang membentuk lapisan-lapisan social juga merupakan sub-culture, telah menjadikan mereka dalam lapisan-lapisan gtertentu menunjukan eklusivitasnya masing-masing. Eklusivitas dapat berupa gaya hidup, perilaku dan juga kebiasaan mereka yang sering berbeda antara satu lapisan dengan lapisan yang lain.
Gaya hidup dari lapisan atas akan berbeda dengan gaya hidup lapisan menengah dan bawah. Demikian juga halnya dengan perilaku masing-masing anggotanya dapat dibedakan; sehingga kita mengetahui dari kalangan kelas social mana seseorang berasal.
Eklusivitas yang ada sering membatasi pergaulan diantara kelas social tertentu, mereka enggan bergaul dengan kelas social dibawahnya atau membatasi diri hanya bergaul dengan kelas yang sanma dengan kelas mereka.
Etnosentrisme
Etnosentrisme dipahami sebagai mengagungkan kelompok sendiri dapat terjadi dalam stratifikasi social yang ada dalam masyarakat. Mereka yang berada dalam stratifikasi social atas akan menganggap dirinya adalah kelompok yang paling baik dan menganggap rendah dan kurang bermartabat kepada mereka yang berada pada stratifikasi social rendah.
Pola perilaku kelas social atas dianggap lebih berbudaya dibandingkan dengan kelas social di bawahnya. Sebaliknya kelas social bawah akan memandang mereka sebagai orang boros dan konsumtif dan menganggap apa yang mereka lakukan kurang manusiawi dan tidak memiliki kesadaran dan solidaritas terhadap mereka yang menderita. Pemujaan terhadap kelas sosialnya masing-masing adalah wujud dari etnosentrisme.
Konflik Sosial
Perbedaan yang ada diantara kelas social dapt menyebabkan terjadinya kecemburuan social maupun iri hati. Jika kesenjangan karena perbedaan tersebut tajam tidak menutup kemungkinan terjadinya konflik social antara kelas social satu dengan kelas social yang lain.
Misalnya demonstrasi buruh menuntut kenaikan upah atau peningkatan kesejahteraan dari [perusahaan dimana mereka bekerja adalah salah satu konflik yang terjadi karena stratifikasi social yang ada dalam masyarakat.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar