Sabtu, 27 November 2010

Pemahaman yang Salah Tentang Kasta di Bali

Sampai saat ini umat Hindu di Indonesia khususnya di Bali masih mengalami polemik masalah Kasta. Hal ini menyebabkan ketidaksetaraan status sosial diantara masyarakat Hindu. Masalah ini muncul karena pengetahuan dan pemahaman yang dangkal tentang ajaran Agama Hindu dan Kitab Suci Weda yang merupakan pedoman yang  paling ampuh bagi umat Hindu agar  menjadi manusia yang beradab yaitu memiliki kemampuan bergerak (bayu), bersuara (sabda) dan berpikir (idep) dan berbudaya yaitu menghormati sesama ciptaan Tuhan Yang Maha Esa tanpa membedakan asal usul keturunan, status sosial, dan ekonomi.
Pada masyarakat Hindu di  Bali,terjadi  kesalahan dan kekaburan dalam pemahaman dan pemaknaan warna, kasta, dan wangsa yang berkepanjangan. Dalam agama Hindu tidak dikenal istilah Kasta. Istilah yang termuat dalam kitab suci Veda adalah Warna. Apabila kita mengacu pada Kitab Bhagavadgita, maka yang dimaksud dengan Warna adalah Catur Warna, yakni pembagian masyarakat menurut Swadharma (profesi) masing-masing orang. Sementara itu, yang muncul dalam kehidupan masyarakat Bali adalah Wangsa, yaitu sistem kekeluargaan yang diatur menurut garis keturunan. Wangsa tidak menunjukkan stratifikasi sosial yang sifatnya vertikal (dalam arti ada satu Wangsa yang lebih tinggi dari Wangsa yang lain). Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada warga masyarakat yang memiliki pandangan bahwa ada suatu Wangsa yang dianggap lebih tinggi daripada Wangsa yang lain. Untuk merubah pandangan seperti ini memang perlu sosialisasi dan penyamaan persepsi. Oleh karena itu, lebih baik tidak diperdebatkan lagi.
Wiana (2000) menjelaskan perbedaan antara warna dan kasta. Warna merupakan penggolongan masyarakat berdasarkan fungsi dan profesi. Dalam ajaran Agama Hindu dikenal adanya empat warna/Catur Warna yaitu brahmana-orang-orang yang bertugas untuk memberikan pembinaan mental dan rohani serta spiritual, ksatria-orang orang yang bertugas untuk mengatur negara dan pemerintahan serta rakyatnya, waisya-orang yang bertugas untuk mengatur perekonomian, dan sudra-orang yang bertugas untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan menjadi pelayan atau pembantu orang lain.
Warna dan gelar serta namanya sama sekali tidak diturunkan atau diwariskan ke generasi berikutnya. Warna tidak bersifat statis, tetapi dinamis. Artinya, warna bisa berubah setiap saat sesuai dengan fungsi dan profesinya, sebagai contoh; seorang yang berasal dari golongan sudra karena ketekunannya dalam belajar dan bekerja berhasil menjadi seorang polisi atau tentara maka secara otomatis golongannya meningkat menjadi seorang ksatria yang bertugas untuk membela dan mempertahankan kedaulatan negara. Bisa saja seorang brahmana yang melakukan tindak kejahatan seperti; pencurian, pemerkosaan, perjinahan dan tinakan melawan hukum lainnya turun derajatnya menjadi golongan yang lebih dan bahkan paling rendah karena perbuatannya sehingga harus menjalani hukuman penjara dan setelah selesai menjalani hukuman akan kembali bergabung dengan masyarakat dan tidak tahu lagi akan menjadi bergelut dalam bidang apa.
Hubungan di antara golongan pada warna hanya dibatasi oleh “dharma”-kewajiban yang berbeda-beda tetapi menuju satu tujuan yakni kesempurnaan hidup. Jadi, catur warna sama sekali tidak membeda-bedakan harkat dan martabat manusia dan memberikan manusia untuk mencari jalan hidup dan bekerja sesuai dengan sifat, bakat, dan pembawaannya sejak lahir hingga akhir hayatnya.
Sedangkan kasta merupakan penggolongan status sosial masyarakat dengan mengadopsi konsep catur warna (brahmana, ksatria, wesyia, dan sudra) yang gelar dan atribut namanya diturunkan dan diwariskan ke generasi berikutnya. Artinya, walaupun keturunannya tidak lagi berprofesi sebagai pendeta atau pedanda tetapi masih menggunakan gelar dan nama yang dimiliki leluhurnya yang dulunya menjadi pendeta atau pedanda. Ini sangat tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seseorang yang belum tentu atau tidak memiliki sifat-sifat brahmana harus disebut sebagai brahmana, dan juga terjadi pada kasta yang lainnya.
Terlebih lagi nama dan gelar warisan masing-masing leluhurnya sekarang ini semakin diagung-agungkan dan digunakan untuk mempertajam kesenjangan di antara golongan kasta yang ada. Tetapi, jika nama dan gelarnya yang dipakai keturunannya hanya dijadikan sebagai tanda penghormatan kepada leluhurnya, maka tindakan ini merupakan tindakan yang sangat mulia dan terhormat.
Konsep kasta sangat bertentangan dengan konsep warna dalam ajaran agama hindu. Namun, kesalahan pemahaman tentang kasta dan warna masih saja terjadi dan terus berlangsung hingga sekarang ini. Jika terjadi kesalahpahaman yang berkelanjutan maka tidak tertutup kemungkinan akan terjadi konflik,  perpecahan, dan kekacauan di masa yang akan datang.
Tidak dapat dipungkiri banyak konflik yang terjadi akibat perbedaan kasta ini, seperti Konflik antar masyarakat yang terjadi pada Bulan Maret 2007 di Desa Tusan, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung-Bali merupakan salah satu buntut dari tidak harmonisnya hubungan antara kaum brahmana dan sudra. Puluhan rumah kaum “kasta brahmana” dirusak dan dihanguskan oleh masyarakat sehingga masyarakat yang rumahnya hancur harus dievakuasi dan diamankan serta ditampung di MAPOLRES (Markas Polisi Resor) Klungkung. Perlu dipertanyakan kenapa ini terjadi? Tak bisa dibayangkan lagi bagaimana benci dan marahnya masyarakat terhadap kaum brahmana sehingga tega melakukan hal-hal yang anarkis ini.
Belum ada penjelasan dari aparat berwenang mengenai penyebab kejadian ini. Walaupun demikian, patut diacungi jempol para masyarakat di sana bisa berdamai dan hidup berdampiangan kembali serta membuat pernyataan damai di antara masyarakat yang berkonflik.
Dari penjelasan diatas jelas sudah perbedaan pandangan mengenai kasta, warna, dan wangsa. Kita sebagai umat Hindu yang memiliki intelektual sudah menjadi kewajiban memahami konsep ini agar tidak terjadi pandangan yang salah yang dapat menyebabkan kesenjangan sosial antarumat Hindu lebih-lebih bisa menyebabkan konflik yang berkepanjangan. Namun, sekarang ini nampaknya ada usaha-usaha untuk semakin mempertajam kesenjangan umat Hindu khususnya di Bali. Sebagai contoh mengenai pembagian wewenang, hak dan kewajiban pendeta. Pedanda (pendeta yang berasal dari kalangan Kasta Brahmana) memiliki wewenang yang jauh lebih tinggi dari pada pemangku (pendeta yang berasal dari Kasta Sudra). Pendanda bisa menyelesaikan kelima upacara keagamaan yang ada dalam agama hindu di Bali yang lazim disebut sebagai Panca Yadnya yaitu:
(1) Dewa yadnya-upacara keagamaan yang ditujukan kepada Tuhan dan manifestasinya seperti odalan di pura-pura baik pura sad khayangan (pura umum yang bisa dikunjungi dan disembahyangi oleh semua umat hindu tanpa membedakan asal-usul keturunan) pura dang kayangan (pura yang sempat disinggahi oleh Dang Hyang Niratha-penyebar Agama Hindu dari Jawa) maupun pura keluarga atau merajan;
(2) Rsi yadnya-upacara keagamaan yang ditujukan untuk para rsi atau upacara penyucian manusia seperti upacara dwi jadi (pengukuhan stutus dari masyarakat biasa menjadi pedanda atau pemangku);
(3) Manusia yadnya-upacara keagamaan yang ditujukan untuk manusia seperti upacara bayi tujuh bulan dalam kandungan (magedong-gedongan), upacara satu bulan tujuh hari setelah bayi lahir (tutug kambuhan), upacara tiga bulan setelah bayi lahir (nelu bulanin), enam bulan setelah lahir (otonan), upacara potong gigi, dan upacara pernikahan (mewidhi- wedhana);
(4) Pitra yadnya-upacara yang ditujukan kepada pitara atau orang yang sudah meninggal seperti upacara ngaben, ngeroras, dan nuntun;
(5) Butha yadnya-upacara yang ditujukan kepada bhuta kala yang bertujuan untuk menyeimbangkan dunia dari pengaruh positif dan negatif.
Sedangkan pendeta yang berasal dari kalangan kasta lain tidak bisa menyelesaikan kelima upacara agama tersebut di atas. Pembagian wewenang ini tanpa berlandaskan sumber yang jelas dan sering kali berasal dari justifikasi dan penapsiran orang atau kalangan tertentu saja.
Sistem pembagian tugas dan wewenang pendeta ini hanya cocok diberlakukan di Bali saja karena tidak semua umat Hindu di seluruh Indonesia maupun dunia memiliki pendeta yang berasal dari golongan kasta brahmana.
Dalam Bhagawad Gita secara jelas disebutkan bahwa dasar persembahan kepada Tuhan adalah “keiklasan” dan sama sekali tidak berdasarkan besar atau kecilnya persembahan dan siapa yang menyelesaikan upacara karena semua manusia sama di hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Apa yang dijelaskan di dalam ajaran suci Agama Hindu ini juga mempertegas bahwa tidak ada perbedaan di antara kita semua. Kita semua mahluk Tuhan dan tak perlu lagi ada pengkotak-kotakan yang berakibat pada perpecahan. Cintailah semua ciptaan Tuhan, semoga damai!
Pengaruh Deferensiasi dan Stratifikasi Sosial dalam Masyarakat


Pengaruh Deferensiasi Social dalam Masyarakat
Deferensiasi social sebagai gejalayang universal dalam kehidupan masyarakat dan membedakan masyarakat secara horizontal, tentu akan membawa dampak dan pengaruh pada kehidupan bersama. Pembedaan secara horizontal ini tetap akan membawa konsekuensi bagi kelompok-kelompok social yang ada. Ikuti penjelasan dampak derensiasi social dalam masyarakat.
Fanatisme
Pengelompokan masyarakat berdasarkan demensi horizontal inimemiliki dampak pada fanatisme kelompok yang bersangkutan,. Anggota kelompok memiliki ikatan yang kuat dengan kelompoknya dan sekaligus membedakan dirinya dengan kelompok lain. Misalnya deferensiasi berdasarkan agama, akan menmimbulkan fanatisme bagi setiap pemeluk agama yang bersangkutan dan mereka sekaligus membedakan diri dengan kelompok beragama lainya.
Batas-batas kelompoknya lebih jelas dan batas kelompok yang lain juga jelas oleh karena itu fanatisme dapat tumbuh dan berkembang sebagai dampak dari deferensiasi social.
Solidaritas
Solidaritas atau ikatan kebersamaan dapat juga terjadi akibat deferensiasi social yang ada. Solidaritas tumbuh dan berkembang diantara mereka. Deferensiasi karena suku bangsa atau etnik akan membuat ikatan mereka se etnik jauh lebih kuat dibandingkan dengan ikatan mereka diluar etnik. Lebih-lebih bila mereka berada diluar etniknya sebagai pendatang pada etnik yang berbeda, maka solidaritas diantara mereka akan tumbuh dan berkembang sehingga rasa solidaritas diantara mereka semakin tinggi.
Mereka merasa satu bagian dari bagian yang besar dan mereka selalu menyatakan bahwa dirinya adalah bagian dari mereka yang besar tersebut.
Toleransi
Pemahaman akan perbedaan yang horizontal diantara kelompok social yang digolongkan berdasarkan deferensiasi social akan menumbuhkan toleransi diantara mereka.
Mereka mengetahui perbedaan dan batas-batas social diantara mereka. Batas kelompok mereka mereka pahami; kesadaran akan kelompoknya juga mereka merasakan. Sisi lain mereka mengetahui batas-batas dari kelompok deferensiasi social lainya. Pemahaman tentang dirinya dan pemaahaman terhadap diri orang lain akan menyebabkan tumbuhnya toleransi diantara mereka. Mereka menghargai apa yang ada pada kelompok lain dan kelompok lain memahami dan menyadari perbedaan yang ada dalam kelomponya.
Kesadaran akan batas dan perbedaan antara kelompok yang berbeda ini merupakan kesadaran social yang menumbuhkan rasa mau menghargai perbedaan sebagai wujud toleransi social yang ada
Pengaruh Startifikasi Sosial dalam Masyarakat
Stratifikasi social adalah pembedaan masyarakat kedalam lapisan-lapisan social berdasatrkan demensi vertical akan memiliki pengaruh terhadap kehidupan bersama dalam masyarakat. Ikuti urain tentang dampak stratifikasi social dalam kehidupan masyarakat berikut ini.
Eklusivitas
Stratifikasi social yang membentuk lapisan-lapisan social juga merupakan sub-culture, telah menjadikan mereka dalam lapisan-lapisan gtertentu menunjukan eklusivitasnya masing-masing. Eklusivitas dapat berupa gaya hidup, perilaku dan juga kebiasaan mereka yang sering berbeda antara satu lapisan dengan lapisan yang lain.
Gaya hidup dari lapisan atas akan berbeda dengan gaya hidup lapisan menengah dan bawah. Demikian juga halnya dengan perilaku masing-masing anggotanya dapat dibedakan; sehingga kita mengetahui dari kalangan kelas social mana seseorang berasal.
Eklusivitas yang ada sering membatasi pergaulan diantara kelas social tertentu, mereka enggan bergaul dengan kelas social dibawahnya atau membatasi diri hanya bergaul dengan kelas yang sanma dengan kelas mereka.
Etnosentrisme
Etnosentrisme dipahami sebagai mengagungkan kelompok sendiri dapat terjadi dalam stratifikasi social yang ada dalam masyarakat. Mereka yang berada dalam stratifikasi social atas akan menganggap dirinya adalah kelompok yang paling baik dan menganggap rendah dan kurang bermartabat kepada mereka yang berada pada stratifikasi social rendah.
Pola perilaku kelas social atas dianggap lebih berbudaya dibandingkan dengan kelas social di bawahnya. Sebaliknya kelas social bawah akan memandang mereka sebagai orang boros dan konsumtif dan menganggap apa yang mereka lakukan kurang manusiawi dan tidak memiliki kesadaran dan solidaritas terhadap mereka yang menderita. Pemujaan terhadap kelas sosialnya masing-masing adalah wujud dari etnosentrisme.
Konflik Sosial
Perbedaan yang ada diantara kelas social dapt menyebabkan terjadinya kecemburuan social maupun iri hati. Jika kesenjangan karena perbedaan tersebut tajam tidak menutup kemungkinan terjadinya konflik social antara kelas social satu dengan kelas social yang lain.
Misalnya demonstrasi buruh menuntut kenaikan upah atau peningkatan kesejahteraan dari [perusahaan dimana mereka bekerja adalah salah satu konflik yang terjadi karena stratifikasi social yang ada dalam masyarakat.
 

STRATIFIKASI SOSIAL


1.         STRATIFIKASI SOSIAL
a)        Pengertian Stratifikasi Sosial
Dalam ilmu sosiologi pelapisan social dalam masyarakat lebih dikenal dengan istilah stratifikasi sosial. Kata stratifikasi sosial berasal dari bahasa latin, yakni stratum yang berarti tingkatan dan socius yang berarti teman atau masyarakat. Secara harfiah stratifikasi berarti tingkatan yang ada dalam masyarakat. Berikut ini pendapat para ahli mengenai pengertian pelapisan sosial.
  • Pitirim A. Sorokin (1959), Bahwa social stratification is permanent characteristic of any organized social group, yang artinya stratifikasi sosial merupakan ciri yang tetap pada setiap kelompok sosial yang teratur. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa stratifikasi sosial merupakan pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat.
  • Paul B. Horton dan Chester L. hunt, stratifikasi sosial berarti sistem perbedaan status yang berlaku dalam suatu masyarakat.
  • Robert M.Z. Lawang, stratifikasi  sosial adalah penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hierarki menurut dimensi kekuasaan, privilese dan prestise.
  • Bruce J. Cohen, stratifikasi sosial adalah sistem yang menempatkan seseorang sesuai dengan kualitas yang dimiliki dan menempatkan mereka pada kelas sosial yang sesuai.
  • Astried S. Susanto, stratifikasi sosial adalah hasil kebiasaan hubungan antar manusia secara teratur dan tersusun sehingga setiap orang, setiap saat mempunyai situasi yang menentukan hubungannya dengan orang secara vertikal maupun horizontal dalam masyarakat.
Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bawha sertifikasi sosial adalah pembedaan masyarakat ke dalam kelas-kelas secara vertikal, yang diwujudkan dengan adanya tingkatan masyarakat dari yang paling tinggi ke paling rendah.
Stratifikasi sosial (pelapisan sosial) sudah mulai dikenal sejak manusia menjalin kehidupan bersama. Terbentuknya pelapisan sosial merupakan hasil dari kebiasaan manusia berhubungan antara satu dengan yang lain secara teratur dan tersusun, baik secara perorangan maupun kelompok. Akan tetapi, apapun dan bagaimanapun wujudnya kehidupan bersama membutuhkan penataan atau organisasi. Dalam rangka penataan kehidupan inilah akhirnya terbetuk masih sedikit dan terbatas, sedangkan masyarakat modern memiliki pelapisan sosial yang kompleks dan tajam perbedaannya.
b.        Dasar Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial akan selalu ditemukan dalam masyarakat selama di dalam tersebut terdapat sesuai yang dihargai.
Seseorang yang banyak memiliki sesuatu yang dihargai akan dianggap sebagai orang yang menduduki pelapisan atas. Sebaliknya mereka yang hanya sedikit memiliki atau bahkan sama sekali tidak memiliki sesuatu yang dapat dihargai tersebut, mereka akan dianggap oleh masyarakat sebagai orang-orang yang menempati pelapisan bawah atau kedudukan rendah.
Adapun dasar atau ukuran yang bisa dipakai untuk menggolongkan anggota masyarakat ke dalam suatu pelapisan sosial adalah sebagai berikut.
v     Ukuran kekayaan, seseorang yang memiliki kekayaan peling banyak akan menempati pelapisan paling atas. Kekayaan tersebut misalnya dapat dilihat dari bentuk rumah, mobil pribadinya, cara berpakaian serta jenis bahan yang dipakai, dan kebiasaan atau cara berbelanja.
v     Ukuran kekuasaan, seseorang yang memiliki kekuasaan atau mempunyai wewenang terbesar akan menempati pelapisan yang tertinggi dalam pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan.
v     Ukuran kehormatan, orang yang dihormati dan disegani akan mendapatkan tempat pelapisan yang tinggi dan ini biasanya terdapat pada masyarakat yang masih tradisional. Misalnya, orang tua yang dianggap berjasa dalam masyarakat atau kelompoknya. Ukuran kehormatan biasanya lepas dari ukuran-ukuran kekayaan dan kekuasaan.
v     Ukuran ilmu pengetahuan, digunakan sebagai salah satu faktor atau dasar pembentukan pelapisan sosial didalam masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan.
Keempat ukuran diatas bukanlah bersifat limitif, artinya ada ukuran lain yang dapat dipergunakan dalam kriteria penggolongan pelapisan sosial dalam masyarakat, namun ukuran di ataslah yang paling banyak digunakan sebagai dasar pembentuk pelapis sosial.
c.         Unsur-Unsur Stratifikasi Sosial
Berbicara mengenai stratifikasi sosial tidak akan lepas dari unsur-unsur yang terdapat didalamnya. Adapun unsur-unsur stratifikasi sosial adalah sebagai berikut.
1)                 Status atau Kedudukan
Paul B. Horton mendefinisikan status atau kedudukan sebagai suatu posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial. Umunya terdapat tiga macam cara memperoleh status/kedudukan dalam masyarakat, yaitu sebagai berikut.
a)     Ascribed status, merupakan kedudukan yang diperoleh sesorang melalui kelahiran. Misalnya, kedudukan anak bangsawan diperoleh karena ia dilahirkan dari orang tua yang yang berdarah bangsawan.
b)     Achieved status, merupakan status atau kedudukan seseorang yang diperoleh melalui usaha-usaha yang disengaja. Misalnya, setiap orang bisa menjadi dokter, asal dia memenuhi persyaratan untuk menjadi dokter.
c)      Assigned status, merupakan status atau kedudukan yang diberikan. Misalnya, gelar kehormatan yang diberikan kepada seseorang karena dianggap berjasa.
2)                 Peranan
Dalam setiap peranan akan terdapat suatu perangkat peran (role set) yang menunjukkan bahwa dalam suatu status tidak hanya mempunyai satu peran tunggal, tetapi hanya sejumlah peran yang saling berhubungan. Misalnya, seorang anak juga seorang mahasiswa dan dia seorang teman, seorang seorang ketua MAPA, dan masih banyak perangkat peran lainnya yang ia sandang.
Selai terdapat perangkat peran terdapat pula perilaku peran, yaitu perilaku yang sesungguhnya dari orang yang melalukan suatu peranan. Perilaku peran terkadang berbeda dari perilaku yang diharapka. Misalnya, masyarakat mengarapkan seorang dokter bersikap baik dan ramah saat memeriksa pasien, namun adapula dokter bersikap tidak demikian. Menurut Soerjono Soekanto dalam peranan setidaknya mencakup tiga hal, yaitu sebagai berikut.
a)           Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat.
b)           Peran sebagai konsep mengenai apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
c)            Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.
d) Sifat Stratifikasi Sosial
Dilihat dari sifatnya, stratifikasi sosial dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu bersifat tertutup dan bersifat terbuka.
v                 Stratifikasi Sosial Tertutup
Stratifikasi sosial tertutup (closed social stratification), membatasi kemungkinan seseorang untuk pindah dari satu lapisanyang lain, baik lapisan atas maupun lapisan bawah. Dalam sistem pelapisan yang demikian satu-satunya jalan untuk masuk menjadi anggota atau warga suatu pelapisan tertentu hanyalah melalui kelahiran. Sebagai contoh pelapisan masyarakat berkasta, pada masyarakat dengan sistem feodal atau pada masyarakat yang masih menggunakan kriteria ras (penggolongan manusia atas dasar ciri-ciri tubuh yang yang nampak dari luar) sebagai dasar pelapis sosialnya.
Agar memperoleh pengertian yang jelas mengenai sistem stratifikasi sosial yang bersifat tertutup, berikut ini dikemukakan ciri-ciri masyarakat India.
  • Keanggotaannya diperoleh melalui warisan dan kelahiran sehingga seseorang secara otomatis dan dengan sendirinya memiliki kedudukan seperti yang dimiliki oleh orang tuanya.
  • Keanggotaannya berlaku seumur hidup. Oleh karena itu, seseorang tidak mungkin mengubah kedudukannya, kecuali apabila ia dikeluarkan atau dikucilkan dari kastanya.
  • Perkawinannya bersifat endogami, artinya seseorang hanya hanya dapat mengambil suami atau istri dari orang sekasta.
  • Hubungan dengan kelompok-kelompok sosial (kasta) lain sangat terbatas.
  • Kesadaran dan kesatuan suatu kasta, indetifikasi anggota kepada kastanya, penyesuaian diri yang ketat terhadap norma-norma kasta, dan sebagainya.
  • Kasta terikat oleh kedudukan yang secara tradisional telah ditentukan.
  • Prestise suatu kasta benar-benar diperhatikan.
Agar lebih jelas perhatikan bagan di bawah ini.
Stratifikasi Sosial Tertutup
Pada pelapisan sosial tertutup tampak jelas mobilitas social sangat terbatas atau bahkan tidak ada.
v                 Stratifikasi Sosial Terbuka
Pada sistem stratifikasi sosial terbuka (open social stratification), setiap anggota masyarakat mempunyai kesempatan untuk naik ke pelapisan yang lebih tinggi kerena kemampuan dan kecakapannya sendiri atau turun ke pelapisan yang lebih rendah bagi mereka yang tidak cakap dan tidak beruntung. Pada umumnya jenis pelapisan sosial yang terbuka lebih banyak memberikan rangsangan untuk maju dan berkembang kepada setiap anggota masyarakat. Contoh pelapisan yang telah mengalami gelombang modernisasi.
Berikut ini bagan yang dapat menggambarkan sifat stratifikasi sosial terbuka.
Stratifikasi Sosial Terbuka
Pada stratifikasi sosial terbuka terdapat kemungkinan yang lebih besar untuk mengadakan mobilitas (vertical dan horizontal).
v                 Stratifikasi Sosial Campuran
Dalam kenyataan sehari-hari pelapis sosial dalam masyarakat tidak selalu bersifat tertutup dan terbuka. Melainkan juga bersifat campuran antara keduanya, artinya ada kemungkinan di dalam suatu masyarakat terdapat unsur-unsur dari gabungan kedua sifat pelapis sosial. Misalnya, dalam bidang ekonomi menggunakan pelapis sosial yang bersifat terbuka, sedangkan pada bidang lain seperti penggunaan kasta bersifat tertutup. Sebagai contoh pada sistem kehidupan masyarakat Bali, walaupun secara budaya masyarakatnya terbagi dalam empat kasta yakni Brahmana, Satria, Waisya dan Sudra (Koentjaraningrat 1992 : 1996), tetapi secara ekonomi sistem pelapisan sosial lebih bersifat terbuka karena setiap orang tanpa memandang kelas atau kastanya dapat mencapai kedudukan yang lebih tinggi berdasarkan kemampuan dan kecakapannya masing-masing. Pengusaha sukses dan terpandang dalam masyarakat bila ia memiliki kemampuan berdagang yang baik.
Pelapisan Sosial Campuran
(sumber gambar : Soejono, Sosiologi Suatu Pengantar, Edisi Baru Ketiga, Rajawali Pers, Jakarta, 1990 hlm. 259)
Pada pelapisan campuran terlihat bahwa mobilitas vertikal hanya terjadi pada golongan yang sama.
e.         Kelas dan Golongan dalam Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial erat kaitannya dengan pembagian kelas dan golongan. Paul B. Horton dan Chaster L. Hunt mendefinisikan kelas sosial sebagai suatu lapisan orang-orang yang berkedudukan sama dalam suatu status sosial.
Pembagian kelas dan golongan umumnya berdasarkan kriteria ekonomi, sosial ataupun politik.
  1. 1. Kriteria Ekonomi
Stratifikasi ekonomi akan membedakan warga masyarakat menurut penguasaan dan pemilikan materi. Kriteria ekonomi selalu berkaitan dengan aktivitas pekerjaan, kepemilikan atau kedua-duanya. Dengan kata lain, pendapatan, kekayaan, dan pekerjaan akan membagi anggota masyarakat ke dalam beberapa stratifikasi sosial atau kelas ekonomi.
Setiap stratifikasi dalam stratifikasi ekonomi disebut kelas ekonomi atau sering disebut kelas saja, sehingga para warga masyarakat atau penduduk dapat digolongkan ke dalam beberapa kelas ekonomi. Istilah kelas ekonomi mempunyai arti relatif sama dengan istilah kelas sosial, hanya saja istilah kelas sosial lebih banyak dipakai untuk menujuk stratifikasi sosial yang didasarkan atas kriteria sosial, seperti pendidikan atau pekerjaan. Tetapi kadang-kadang kelas sosial diartikan sebagai semua orang yang sadar akan kedudukannya di dalam suatu pelapisan tanpa membedakan apakah dasar pelapisan itu uang, kepemilikan, pekerjaan, kekuasaan atau yang lain.
Dilihat dari kriteria ekonomi secara garis besar terdapat tiga kelas sosial, yaitu :
a) Kelas atas (upper class)
b) Kelas menengah (middle class)
c) Kelas bawah (lower class)
Adanya kelas atas, menengah, dan bawah itu dikarenakan dalam masyarakat terdapat ketidakseimbangan atau ketimpangan (inequality) dalam pembagian sesuatu yang dihargai yang kemudian menjadi hak dan kewajiban yang dipikul oleh warga masyarakat. Golongan yang mendapatkan pembagian lebih besar kemudian akan mendapatkan kedudukan pada pelapisan yang lebih tinggi dan golongan yang mendapatkan pembagian kecil kan mendapatkan kedudukan yang lebih rendah.
Tiga kelas sosial masing-masing masih dapat dibagi menjadi subkelas sehingga kalau digambarkan akan menjadi sebagai berikut :
Keterangan:
a) Kelas atas (upper class)
1)     Kelas atas atas (Aa)
2)     Kelas atas menengah (Am)
3)     Kelas atas bawah (Ab)
b) Kelas menengah (middle class)
1)     Kelas menengah atas (Ma)
2)     Kelas menengah (Mn)
3)     Kelas menengah bawah (Mb)
C) Kelas bawah (lower class)
1)     Kelas bawah atas (Ba)
2)     Kelas bawah menengah (Bm)
3)     Kelas bawah bawah (Bb)
Stratifikasi diatas digambarkan berbentuk kerucut, hal ini berkaitan dengan jumlah warga masyarakat yang dapat digolongkan ke dalam kelas tersebut. Semakin tinggi kelas, semakin sedikit warga masyarakat yang termasuk didalamnya. Sebaliknya, semakin rendah kelas semakin banyak warga masyarakat yang dapat digolongkan di dalamnya. Hal itu tidak hanya berlaku pada stratifikasi atas dasar kriteria ekonomi saja, melainkan juga pada bentuk-bentuk stratifikasi yang lain, seperti kriteria sosial dan politik.
2.        Kriteria Sosial
Dengan memahami stratifikasi masyarakat berdasarkan kriteria sosial, orang akan mudah memahami peristiwa atau gejala-gejala yang terjadi di dalam masyarakat seperti :
a)                 Mengapa dikalangan generasi muda terjadi banjir ke perguruan tinggi?
b)                 Mengapa pada umumnya orang akan lebih suka pekerjaan dengan tangan bersih atau menjadi pegawai pemerintah walaupun mempunyai kedudukan atau jabatan yang rendah dan gaji kecil?
c)                  Mengapa rumah yang dahulu cukup berdinding bilik atau papan lamabt laun mengalami perubahan kemudian mendapatkan dinding batu bata?
Ternyata semua itu berhubungan dengan apa yang disebut prestise atau gengsi. Suatu pekerjaan bagi seseorang tidak sekedar berhubungan dengan berapa jumlah uang yang diterimanya sebagai gaji.
Menurut pelapisan yang berdasarkan kriteria sosial, masyarakat akan terdiri atas beberapa pelapisan atau strata yang disebut dengan kelas sosial, kasta atau stand. Istilah kelas sosial antara lain digunakan oleh Max Weber, ia menggunakan istilah yang sama untuk pelapisan atas dasar kriteria ekonomi maupun sosial. Adapun istilah kasta dipakai untuk menyebut setiap pelapisan dalam masyarakat berkasta, misalnya pada pelapisan masyarakat Hindu Bali. Masyarakat Hindu Bali terbagi menjadi empat kasta yaitu Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra. Kasta Brahmana, Ksatria dan Waisya disebut triwangsa, sedangkan kasta Sudra disebut jaba. Seseorang termasuk dalam kasta yang mana biasanya dapat dilihat dari gelar yang digunakan di awal namanya, antara lain Ida Bagus dan Ida Ayu untuk gelar Brahmana : Cokorda, Anak Agung, Dewa, Ngakan, untuk gelar Ksatria : bagus, I Gusti, dan Gusti untuk Waisya : Pande, Kbon, Pasek untuk kasta Sudra. Gelar-gelar  tersebut diwariskan secara patrilinial (menurut garis keturunan ayah).
3.        Kriteria Politik
Pelapisan dalam masyarakat berdasarkan kriteria politik berarti pembedaan penduduk atau warga masyarakat menurut pembagian kekuasaan. Sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial, kekuasaan berbeda dari kriteria lain, yaitu ekonomi dan kedudukan sosial.
Apa yang dimaksud dengan kekuasaan? Kekuasaan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak atau kemauan pemegang kekuasaa. Apa perbedaan antara kekuasaan dan wewenang? Setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain dinamakan kekuasaan (power), sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang ada pada diri seseorang atau sekelompok orang yang mempunyai dukungan atau mendapatkan pengakuan dari masyarakat sehingga wewenang merupakan otoritas atau legalized power. Dengan kata lain, wewenang atau otoritas adalah hak untuk memengaruhi karena didukung oleh adanya norma atau peraturan yang menentukan keteraturan dalam masyarakat. Berdasarkan pengertian tersebut, wewenang harus didukung oleh kekuasaan, sebab jika tidak wewenang tidak dapat berjalan.
Menurut Mac Iver, ada tiga pola umum sistem stratifikasi kekuasaan atau piramida kekuasaan, yaitu tipe kasta, olegarkhi, dan demokratis.
a)                 Tipe Kasta
Tipe kasta memiliki system stratifikasi kekuasaan dengan garis pemisahan yang tegas dan kekku. Tipe semacam ini biasanya dijumpai pada masyarakat berkasta yang hampir tidak dijumpai dalam garis vertikal. Garis pemisah antara masing-masing pelapisan hampir tidak mungkin ditembus. Pada puncak piramida kakuasaan duduk penguasa tertinggi, misalnya raja atau maharaja, dengan lingkungannya yang didukung oleh kaum bangsawan, tentara, dan para pendeta. Pelapisan kedua huni oleh para petani dan buruh tani, dan pelapisan terendah terdiri atas para budak.
b)                 Tipe Oligarkhi
Tipe oligarkhi memiliki tipe stratifikasi kekuasaan yang menggambarkan garis pemisah yang sangat tegas diantara strata. Akan tetapt, perbedaan antara strata satu dengan strata lain tidak begitu mencolok. Walaupun kedudukan para warga masyarakat masih banyak didasarkan kepada aspek kelahiran (ascribed starus), akan tetapi individu masih diberikan kesempatan untuk naik ke strata yang lebih atas. Gambaran tipe tersebut adalah sebagai berikut, Kelas menengah mempunyai warga paling banyak , seperti industri, perdagangan dan keuangan yang memegang peranan lebih penting. Ada bermacam-macam cara warga dari strata bawah naik ke strata yang lebih atas dan juga ada kesempatan bagi warga kelas menengah  untuk menjadi penguasa. Tipe piramida ini dijumpai pada masyarakat feudal yang telah berkembang. Suatu variasi dari tipe in adalah stratifikasi yang terdapat pada negara yang berdasarkan pada fasisme atau juga totaliter. Hanya bedanya untuk yang disebut terakhir, kekuasaan berada ditangan partai politik.
c)                  Tipe Demokratis
Tipe demokratis adalah tipe ketiga yang tampak adanya garis pemisah antarlapisan yang sifatnya mobil (bergerak). Faktor kelahiran tidak menentukan kedudukan seseorang, yang terpenting adalah kemampuannya dan kadang-kadang faktor keberuntungan. Stratifikasi sosial berdasarkan kriteria kekuasaan sebenarnya tidak selalu digambarkan dengan hierarki atas-bawah, tetapi dapat pula digambarkan sebagai gejala melingkar menyerupai lingkaran kambium yang terdiri atas lingkaran dalam, lingkaran tengah dan lingkaran luar.
Lingkaran dalam ditempati oleh mereka yang mempunyai kekuasaan yang lebih besar daripada mereka yang menempati lingkaran tengah atau lingkaran luar. Perbedaan lingkaran dalam dan lingkaran di luarnya bukan berarti saling terpisah satu sama lainnya, tetapi terdapat saling hubungan yang dinyatakan dengan adanya garis yang tidak terputuskan.
Stratifikasi kekuasaan di lingkungan keraton semua tata nilai yang berlaku didalamnya dapat digambarkan dengan lingkaran kambium ini. Raja merupakan tokoh sentral yang penuh dengan kekuasaan dan privilese (hak-hak istimewa). Kekuasaan dan privilese yang lebih rendah dari yang ada pada raja adalah yang dimiliki oleh para anggota keluarga raja. Semakin jauh dari lingkaran keluarga raja, maka semakin berkurang kekuasaan, privilese, maupun prestise (kehormatan) yang dimiliki oleh seseorang.

Mengenal KASTA & WARNA


KASTA & WARNA
Om Swastyastu,

Banyak Orang terpengaruh terhadap propaganda pandangan orang-orang Barat tentang Kasta, padahal di Hindu (Veda) tidak ada kasta yang ada adalah warna. Kasta sendiri berasal dari bahasa portugis yaitu caste, bukan dari bahasa India yang artinya suku bangsa.

Sementara itu warna sangat berbeda dengan kasta, warna adalah penggolongan manusia karena pekerjaan/profesi. Di dalam Veda disebutkan tentang warna ini yaitu, Catur Warna:
1. Brahmana adalah orang-orang yang menekuni kehidupan spiritual dan ketuhanan, para cendikiawan, intelektual.
2. Ksatria adalah orang-orang yang bekerja/bergelut di bidang pertahanan dan keamanan/pemerintahan.
3. Wesia adalah orang-orang yang bergerak dibidang ekonomi.
4. Sudra adalah orang-orang yang bekerja mengandalkan tenaga/jasmani.
Dan penggolongan ini tidak diturunkan, artinya kalau sang Ayah Brahmana tidak otomatis, anaknya menjadi Brahmana...
Menurut Veda, Brahmana menempati posisi yang diagungkan, artinya Veda mendukung masyarakat yang dipimpin oleh orang-orang Intelektual/Bijaksana (Civil society) dan tidak sekedar kekuasaan/kekuatan. Apa yang terjadi di India adalah distorsi dari ajaran-ajaran Veda di Indonesia sendiri kasta tidak ada, yang ada adalah wangsa (garis leluhur)...
Wangsa yang ada di Bali sebagai contoh hanya sebagai pengenal bahwa garis leluhurnya mereka dahulu berasal dari keluarga tertentu misalnya: soroh pande artinya keluarga mereka pada jaman dahulu adalah "pengrajin/pande-besi", Arya Kenceng Tegeh Kori contoh lain artinya jaman dahulu keluarga mereka dari kelompok "Arya" (ksatria yang berasal dari jawa masuk ke Bali). Jadi tidaklah benar kalau umat Hindu itu mengenal kasta. Ini merupakan bentuk pelecehan, maka masyarakat Bali dan nama Hindu menjadi buruk. Banyak saudara2 dibali masih salah paham tentang Kasta, apalagi orang-orang lain yang tinggal di luar Bali. Mungkin karena Umat Hindu kurang mensosialisasikan secara gamblang apa itu wangsa/warna...
Dan nama yang ada di Bali bukan berarti itu kasta, itu Wangsa:
contoh :
nama seseorang misalnya I Gusti deXMbo,dan leluhur ia dulu adalah Ksatria yaitu Arya Kenceng Tegeh Kori, apakah ia ksatria???  Tentu bukan!



Kamis, 25 November 2010

Kekuatan Mistis Gunung Merapi

NAMA gunung Merapi sudah cukup populer di telinga masyarakat Indonesia. Sesuatu yang berkaitan keberadaan gunung Merapi kerap dikaitkan dengan hal-hal berbau misteri, di antaranya keberadaan makhluk-makhluk gaib penguasa dan penghuni gunung Merapi. Hal ini tidaklah berlebihan, karena hasil investigasi membuktikan bahwa masyarakat setempat yakin kalau penghuni dan penguasa gunung Merapi memang ada. 

Mereka memanggilnya dengan sebutan Eyang Merapi. "Bapak lihat bukit kecil di atas itu? Itu namanya gunung Wutah, gapuranya atau pintu gerbangnya kraton Eyang Merapi". Sebaris kalimat dengan nada bangga itu meluncur begitu saja dari Bangat, seorang penduduk asli Kinahrejo Cangkrinagan Sleman, sesaat setelah kami menapaki sebuah ara tandus berbatu tanpa hiasan pepohonan sebatang pun. 

Masyarakat setempat meyakini, kawasan wingit yang diapit oleh dua buah gundukan kecil itu memang dikenal sebagai pelatarannya keraton Eyang Merapi. Untuk naik ke sana, diingatkan agar uluk salam, atau sekadar minta permisi begitu di atasnya. "Kulo nuwun Eyang, kulo ingkang sowan, sumangga silakna rikma niro," imbuh istri Bangat, Suharjiyah, sembari menuntun kami untuk menirukan lafal tersebut. 

Tentu saja, imbauan sepasang suami istri yang tubuhnya kian keriput dimakan usia itu bukan tanpa alasan. Menurutnya, sang penguasa kraton Merapi sangat tersinggung bila ada pendatang baru yang neko-neko (berbuat macam-macam), pethakilan (bertingkah tidak senonoh) tanpa memberi uluk salam (permisi). Hal-hal tersebut jika dilanggar akibatnya akan sangat fatal. "Mereka yang sama sekali tidak mengubris pakem kultur tersebut jelas akibatnya akan fatal, biasanya akan tersesat hingga kecebur jurang," tegas Bangat. 

Satu hal yang perlu diingat, setiap pendatang baru di kawasan Kinahrejo niscaya bakal celaka bila sampai menyakiti hati penduduk setempat. "Nantinya bisa-bisa kuwalat jadinya," imbuh Bangat. Sekejam itukah? "Sebenarnya sih enggak. Cuma memang, Eyang Merapi itu nggak suka kalau kampung sini (Kinahrejo, Red) jadi sasaran perbuatan yang nggak terpuji. Masalahnya, warga sini sebetulnyakan masih termasuk rakyatnya kraton Eyang Merapi. Nggak percaya? Coba saja Bapak perhatikan dan tanyakan kepada warga sini, apa pernah wilayah ini terkena semburan lahar panas Merapi? Pasti jawab mereka tidak," terang Bangat. 

Ditambahkan, beberapa warga setempat menggambarkan sosok penguasa kraton Merapi dengan makhluk yang menyeramkan, namun berhati mulia dan tidak bermaksud jahat, "Dia adalah pengayom masyarakat setempat," tandas Suharjiyah. Besarnya rasa percaya masyarakat setempat terhadap keberadaan Eyang Merapi membuat mereka yakin bahwa akan hal-hal yang mistis yang terjadi menimpa masyarakat. Misalnya, pintu gerbang kramat, penduduk yang tinggal di lereng gunung Merapi itu percaya bahwa pintu gerbang tersebut penangkal dari segala marabahaya. 

Pintu gerbang yang berdiri selama 9 abad itu nyaris pernah tersentuh bencana gunung Merapi. Padahal secara teknis daerah tersebut termasuk daftar daerah bahaya. Hal itu juga tak lepas dari keberadaan dua buah bukit (Wutah dan Kendit) yang berfungsi sebagai benteng desa-desa sekitar Kinahrejo. "Bukit Kendit maupun bukit Wutah itu kan masih masuk dalam wilayah kekuasan Eyang Merapi. Itukan pasebannya (tempat untuk menghadap raja) kraton Eyang Merapi. Jadi nggak mungkin Eyang akan tega membinasakan orang yang memang sudah lama mendiami tempat sekitar itu," Bangat menjelaskan lebih jauh. 

Memang, dibandingkan penduduk desa lainnya, nasib penghuni desa Kinahrejo dan sekitarnya termasuk yang beruntung. Selain merupakan desa yang nyaris selalu luput dari ancaman bahaya lahar panas Merapi, desa yang konon termasuk desa kesayangan Eyang Merapi itu juga menjadi sebuah reresentasi dari sebuah suasana kehidupan yang serba nyaman dan tentram. 

Tak aneh kalau dikemudian hari kerap muncul sindirin dikalangan penduduk setempat kepada warga diwilayah barat daya gunung Merapi yang kerap jadi langganan bencana lahar. "Kalau ingin hidup tenang tentram, pindahlah kemari. Eyang Merapi kan selalu melindungi kami," ujar Wardiyah, salah seorang warga yang mengaku penduduk asli desa Kinahrejo. 

Ucapan Wardiyah tersebut memang ada benarnya. Penduduk desa Kinahrejo seolah telah mendapat garansi dari Eyang Merapi. Pendek kata, selagi mereka patuh terhadap segala peraturan yang ada misalnya selalu mempersembahkan bulu bekti berupa persembahan sesajian serta selalu melakukan ritual labuhan setiap tahunnya, mereka yakin dan optimis bahwa mereka akan senantiasa terhindar dari ancaman letusan Merapi. 

Pemerintah beli ternak warga Merapi

Pemerintah Indonesia memutuskan untuk membeli semua ternak milik warga lereng Gunung Merapi agar mereka mau mengungsi dari zona bahaya.
Langkah ini diumumkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta hari Jumat (05/11) setelah jatuh korban lebih besar padahal mereka sudah dilarang untuk kembali ke zona bahaya yang ditetapkan sejauh radius 20 kilometer. "Setelah kita pelajari mengapa di waktu yang lalu penduduk itu sering terbebani oleh ternak atau sapi yang dimiliki, sehingga tidak mudah meninggalkan rumahnya kampungnya. Kalau sudah meninggalkan, kalaupun belum terbawa berusaha untuk mencari kembali atau mencari makanananya dan sebagainya. Oleh karena itu pemerintah akan membeli sapi-sapi itu dengan harga yang pantas," ujar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono mengatakan masalah ternak milik penduduk lereng Gunung Merapi memang menjadi masalah karena warga tidak mau meninggalkan ternak dan jika ternak-ternak itu diungsikan terlalu banyak masalah.
"Pengungsian ternak jika dilakukan memakan biaya lebih tinggi dan menimbulkan permasalahan tersendiri seperti lokasi dan tempat pembuangan dan sebagainya. Maka atas rundingan dengan pemerintah daerah, bupati dan gubernur, disarankan untuk membeli ternak itu jika sudah aman mereka bisa membeli kembali," kata Agung Laksono kepada BBC.
Pemerintah sedang menghitung jumlah ternak yang ada di wilayah itu dan berdasarkan pendataan sebelumnya jumlah ternak di sana mencapai sekitar 17.000 ekor. "Pemerintah juga sedang mempertimbangkan mengganti sapi yang sudah mati ada sekitar 700 sampai 900 ekor" kata Agung Laksono kepada BBC Indonesia.
Masalah ternak memang menjadi penyebab warga kembali ke rumah mereka yang berada di zona bahaya, bahkan sebagian besar korban yang tewas akibat letusan paling akhir ini berada di radius 10 kilometer padahal zona bahaya ditetapkan pada radius 20 kilometer. 


Tabungan
Kepala Pusat Studi Bencana Alam Universitas Gadjah Mada, Junun Sartohadi, mengatakan memang hewan ternak merupakan aset terpenting bagi warga lereng Gunung Merapi dan mereka kembali ke rumah masing-masing bukan untuk harta benda berupa rumah dan barang materi lain.
"Hewan peliharaan adalah cadangan yang sewaktu-waktu bisa digunakan. Hewan peliharaan adalah tabungan dan sekarang tabungan mereka terancam sehingga mereka tidak bisa tenang untuk mengungsi," ujar Junun Sartohadi.
Dia menambahkan bahwa dari segi penerapan teori manajemen bencana yang dilakukan dalam menangani bencana Gunung Merapi sudah baik, namun penerapannya tidak akan berjalan dengan baik jika masalah ternak tidak diatasi.
Warga memang sembunyi-sembunyi kembali ke rumah masing-masing seperti yang dijelaskan oleh Tanto, petugas pos pengamatan Sleman. "Padahal sudah diperingatkan berulangkali. Tadi malam [Kamis 04/11] dilarang, mereka naik sembunyi-sembunyi. Petugas tidak tahu karena mereka memakai jalan tikus karena lebih berpengalaman dari petugas. Petugas kan sebagian besar orang luar jadi tidak tahu jalan-jalan kecil itu. Pemerintah mengatakan bahwa dana untuk pembelian sapi diambil dari anggaran Kementrian yang dikoordinasi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat.